Oleh: Asrar Aspia Manurung-UMSU
Edisi 1 | Nomor 1 Tahun 2022
hal:
Kesulitan dalam belajar kerap dialami oleh semua orang, terlebih lagi oleh anak-anak. Biasanya, anak-anak akan memasuki pendidikan dasar di usia 7 tahun—mengikut dari PERMENDIKBUD Nomor 51 Tahun 2018. Usia tersebut, jika menurut Harvey dalam “Developmental Psychology to Day” dan Elizabeth dalam “Developmental Psychology” menyatakan bahwa itu adalah usia di mana manusia memasuki fase kanak-kanak akhir (Latter Childhood). Pada fase ini, anak-anak dianggap siap untuk menerima pendidikan lebih lanjut sebab fase ini merupakan fase awal dalam perkembangan intelektual anak.
Meskipun anak-anak sudah dianggap mampu dalam menerima segala tuntutan dan pembelajaran yang dapat mengembangkan aspek intelektualnya, hal ini tetap saja merupakan hal baru bagi mereka. Sebelum memasuki masa ini, terdapat masa kanak-kanak awal (Early Childhood) di mana mereka mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan untuk memasuki dunia sekolah. Oleh karena itu, hal yang wajar bagi anak-anak jika mereka mengalami kesulitan dalam belajar karena proses perkembangan dalam otak manusia membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Terlebih lagi pelajaran yang diberikan di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia cukup beragam bahkan untuk tingkat sekolah dasar. Hal ini tentu semakin mempersulit mereka untuk mencerna secara keseluruhan pelajaran tersbeut.
Salah satu pelajaran yang didapat oleh anak saat duduk di sekolah dasar adalah matematika. Pelajaran yang satu ini sudah tidak asing lagi dijuluki sebagai pelajaran yang sulit oleh sebagian besar orang-orang, terlebih anak-anak. Kesulitan yang ditemui biasanya cukup beragam, namun sebagian besar kesulitan yang dialami berkaitan dengan rumus matematika yang jumlahnya banyak sehingga sulit dihafal hingga konsep berpikir dalam matematika yang cukup rumit.
Meskipun begitu, matematika hanyalah pelajaran yang “sulit” bukan “mustahil.” Kita masih bisa mengatasi “kesulitan” namun tidak dengan “kemustahilan.” Untuk itu, dalam artikel ini, penulis akan membagikan tips yang bermanfaat agar bisa mengubah kesulitan dalam matematika menjadi sesuatu yang menyenangkan, terlebih bagi anak-anak berdasarkan teori belajar yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
1. Teori Belajar Bruner
Dalam hal ini, Bruner membagi tahap perkembangan mental anak-anak menjadi tiga tahap, yaitu:
- Tahap Enaktif (0-2 tahun)
- Tahap Ikonik (2-5 tahun)
- Tahap Simbolik (5-7 tahun)
Jika mengikut usia masuk sekolah dasar, maka anak berada pada tahap simbolik. Pada tahap ini, anak sudah mampu mengolah ide dan gagasan mereka dengan menggunakan symbol-simbol seperti bahasa, logika, hingga matematika. Berdasarkan teori belajar ini, kita bisa melakukan visualisasi terhadap rumus matematika yang ingin kita ajarkan. Sebagai contoh, saat mengajarkan luas untuk bangun datar (segitiga), kita bisa menyediakan bentuk segitiga yang bisa disentuh oleh anak seperti membuatnya dari kertas. Kita bisa mengajarkan anak bagaimana cara melipat kertas hingga membentuk segitiga. Saat melipat, kita bisa mengenalkan sisi-sisi yang ada di segitiga lalu secara perlahan mengenalkan rumus luas segitiga kepada mereka. Dengan begini, anak akan lebih mudah mengerti karena mereka ikut dalam proses pembuatan segitiga sekaligus mengenal simbolisasi yang ada pada rumus matematika.
2. Teori Belajar Piaget
Jean Piaget membagi tahap perkembangan anak menjadi 4 fase, yakni sensory-motor (0-2 tahun), praoperasional (2-7 tahun), concrete operational (7-11 tahun), dan yang terakhir adalah formal operational (usia remaja-dewasa). Anak-anak yang memasuki usia Sekolah Dasar di Indonesia jika digolongkan menurut Teori Piaget, maka mereka berada di fase concrete operational. Dalam fase ini, anak mulai mengaitkan pengalaman yang mereka alami di masa lampau dan mencoba menghubungkannya untuk mengambil kesimpulan logis dari pengalaman tersebut. Anak-anak mampu mengambil kesimpulan logis dalam fase ini jika mereka berinteraksi langsung dengan peristiwa atau objek yang ada. Sebagai contoh, guru atau orang tua bisa menyediakan benda konkret seperti jeruk atau balok mainan dalam jumlah tertentu untuk mengajarkan operasi penjumlahan. Anda bisa memberikan 2 jeruk kepada anak, lalu Tanya jumlah jeruk yang ia pegang saat ini. Saat anak menjawab 2, anda bisa memberikan 3 jeruk lagi lalu bertanya kembali berapa jumlah jeruk yang dimilikinya sekarang. Dengan cara ini, anak akan lebih mudah memahami bahwa 2+3=5 karena mereka bisa menyentuh langsung benda tersebut. Cara ini tepat untuk diterapkan pada anak yang usianya berada di fase concrete operational seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Dua teori di atas hanya sedikit dari teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli. Masih banyak lagi teori yang disampaikan terkait proses belajar anak menurut fase perkembangan usia mereka. Tidak semua teori cocok untuk diterapkan kepada seluruh anak-anak karena setiap anak memiliki fase perkembangannya sendiri-sendiri. Terkadang, tidak semua anak yang usianya sama memiliki kemampuan yang sama juga dalam hal belajar. Disinilah peran orang tua dan guru lebih ditekankan. Sebagai orang dewasa, kita memiliki peran untuk memahami perkembangan serta kemampuan yang dimiliki oleh anak-anak. Apapun teori belajarnya, satu hal yang perlu diingat yaitu selalu berikan apresiasi atas setiap usaha yang dibuat oleh anak. Apresiasi yang disampaikan baik lewat verbal maupun wujud benda seperti hadiah mampu memberikan motivasi serta meningkatkan semangat dalam diri mereka. Jadi, sudahkah Anda menemukan teori yang tepat untuk buah hati Anda?.
Full Artikel